SAMARINDA – Sejumlah massa dari kalangan mahasiswa, pemuda, dan masyarakat sipil di Kota Samarinda menggelar aksi penolakan terhadap praktik dinasti politik. Aksi ini merupakan respons terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait batas usia calon presiden dan calon wakil presiden (capres dan cawapres).
Korlap BEM Seka Wilayah Kaltim, Muhammad, menyatakan bahwa aksi ini adalah bentuk komitmen pemuda dan mahasiswa untuk menjaga dan merawat demokrasi.
Menurutnya, putusan MK dinilai sewenang-wenang, dan ada pertanyaan mengenai penerimaan gugatan yang baru masuk pada 13 September, sementara gugatan sebelumnya ditolak.
“Ini terlihat ada kepentingan sekelompok orang untuk merusak demokrasi dengan melalui Mahkamah Konstitusi,” kata Muhammad.
Dalam aksi tersebut, hadir juga Andi Indrawati, seorang akademisi dan dosen UNTAG ’45 Samarinda.
Dia menyampaikan keresahan yang mirip dengan peristiwa tahun 1998, ketika mahasiswa melawan rezim orde baru untuk memperjuangkan demokrasi di Indonesia.
Andi Indrawati menyoroti fenomena putusan MK terkait batas usia capres dan cawapres sebagai potensi munculnya gaya Neo Orde Baru di Indonesia.
Tuntutan utama dalam aksi ini adalah penolakan terhadap putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 karena dianggap mengganggu rasionalitas publik, tidak konsisten secara prinsipil dengan putusan sebelumnya, dan terindikasi kepentingan keluarga Presiden Jokowi.
Massa juga menegaskan perlawanan terhadap politik dinasti yang dianggap sebagai ancaman bagi harapan jutaan pemuda dan anak-anak Indonesia.
Aksi ini merupakan bagian dari gelombang penolakan terhadap praktik dinasti politik di Indonesia, yang semakin mencuat setelah putusan MK terkait batas usia capres dan cawapres.
Sumber : Liputan6.com
Editor Topik Borneo