NEW YORK – Konglomerat dunia Bill Gates, pendiri Microsoft dan filantropis terkenal, kembali mengungkapkan fakta baru mengenai ancaman besar bagi Bumi dalam blognya pada Februari lalu. Tak disangka, Indonesia juga menjadi topik dalam pembahasannya.
Gates mengungkapkan bahwa setiap tahun, aktivitas manusia di Bumi menghasilkan 51 miliar ton gas rumah kaca, dan 7% di antaranya berasal dari produksi lemak dan minyak dari hewan dan tumbuhan.
“Untuk memerangi perubahan iklim, kita harus mengubah angka tersebut ke nol,” tulis Gates di blog pribadinya.
Gates menyadari bahwa menghilangkan konsumsi lemak hewan bagi manusia bukanlah hal yang realistis. Manusia telah bergantung pada lemak hewan karena alasan nutrisi dan kalori yang dibutuhkan.
Namun, Gates mengungkapkan bahwa ada cara inovatif untuk menghasilkan lemak tanpa emisi, menyiksa hewan, atau menghasilkan zat kimia berbahaya. Solusi ini telah ditemukan oleh startup bernama ‘Savor’, di mana Gates juga menjadi salah satu investornya.
Savor menciptakan lemak melalui proses yang melibatkan karbondioksida dari udara dan hidrogen dari air. Senyawa tersebut dipanaskan dan dioksidasi sehingga menghasilkan komponen asam yang membentuk lemak.
Gates mengklaim bahwa lemak yang dihasilkan memiliki molekul serupa dengan yang ditemukan dalam susu, keju, daging sapi, dan minyak nabati.
Minyak Sawit dan Dampaknya di Indonesia
Selain lemak hewan, Gates juga menyoroti dampak besar dari produksi minyak sawit terhadap lingkungan.
“Saat ini, minyak sawit adalah lemak nabati yang paling banyak dikonsumsi di seluruh dunia. Minyak sawit ditemukan dalam banyak produk sehari-hari seperti kue, mie instan, krim kopi, makanan beku, makeup, sabun mandi, pasta gigi, deterjen, deodoran, makanan kucing, formula bayi, dan sebagainya. Bahkan, minyak sawit juga digunakan untuk biofuel dan mesin diesel,” tulis Gates.
Masalah utama bukan pada penggunaan minyak sawit, tetapi pada proses produksinya. Kebanyakan pohon sawit hanya tumbuh subur di daerah yang dilintasi garis khatulistiwa, yang menyebabkan penggundulan hutan di wilayah-wilayah tersebut untuk dijadikan lahan sawit.
“Hal ini berdampak buruk bagi keanekaragaman hayati dan memperburuk perubahan iklim. Pembakaran hutan menghasilkan emisi yang signifikan dan meningkatkan suhu atmosfer,” jelas Gates.
Pada 2018, kerusakan hutan di Malaysia dan Indonesia cukup parah hingga menyumbang 1,4% emisi global, angka yang lebih besar dari seluruh negara bagian California dan hampir sama dengan emisi industri penerbangan global.
Namun, menggantikan minyak sawit bukanlah tugas mudah. Minyak sawit murah, tidak berbau, dan melimpah, serta memiliki keseimbangan lemak jenuh dan tak jenuh yang membuatnya sangat serbaguna.
“Minyak sawit adalah pemain tim yang dapat bekerja untuk membuat hampir semua makanan dan barang-barang non-makanan menjadi lebih baik,” tambah Gates.
Gates menyebutkan bahwa sudah ada perusahaan-perusahaan yang berupaya mencari solusi. Salah satunya adalah C16 Biosciences, yang mengembangkan produk alternatif minyak sawit dari mikroba ragi liar menggunakan proses fermentasi tanpa emisi.
Meski secara kimiawi berbeda dari minyak sawit konvensional, minyak C16 mengandung asam lemak yang sama, sehingga dapat digunakan dalam aplikasi serupa.
Bill Gates berharap bahwa inovasi-inovasi ini dapat membantu mengurangi dampak lingkungan dari produksi lemak dan minyak, serta mendukung upaya global dalam memerangi perubahan iklim.
Editor Topik Borneo