JAKARTA – Pemilu 2024 telah berakhir, dengan pasangan calon (paslon) Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming keluar sebagai pemenang dengan perolehan suara di atas 50 persen, mengungguli paslon lainnya.
Namun, yang menarik adalah fakta bahwa paslon Prabowo-Gibran berhasil unggul di banyak basis massa Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), yang sebelumnya mengusung paslon Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
Perolehan suara PDIP di basis massanya tidak linear dengan perolehan suara paslon Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
Hal ini seakan membuktikan kebenaran perkataan Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) PDIP, Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul, yang menyatakan agar tidak menyerang Presiden Joko Widodo (Jokowi).
“Jadi jangan serang Jokowi. Rugi kamu. Bukan aku pro-Jokowi lho, ini just ilmu, ilmu kehidupan,” kata Bambang Pacul.
Bambang Pacul menekankan pentingnya untuk tidak melawan orang baik, yang dalam konteks ini mengacu pada Jokowi.
Menurut pengamat politik Efriza dari Citra Institute, PDIP tidak belajar dari pengalaman masa lalu, seperti kekalahan Megawati Soekarnoputri dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), karena sikap arogan dan jumawa.
“PDIP pernah dikalahkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), karena sikapnya yang arogan dan jumawa, tinggi hati,” kata Efriza
Hal ini mengingatkan pada situasi saat ini di mana PDIP menghadapi kekalahan dengan sikap yang kurang sesuai dengan dinamika politik saat ini.
Efriza menyoroti retorika PDIP terhadap Jokowi dan Prabowo, yang terkesan ambigu dan tidak konsisten. Sikap ini dianggap sebagai blunder yang bisa merugikan PDIP dalam perolehan suara.
Terlebih lagi, ketidakpahaman PDIP terhadap pola politik di Indonesia, di mana kecenderungan untuk memilih kembali presiden yang sedang menjabat tinggi, membuat PDIP kurang memahami dinamika politik yang ada.
“Mereka tidak memahami, pola di Indonesia, ketika presiden terpilih sekali, kencenderungan terpilih lagi tinggi,” katanya.
“Kedua, masyarakat selalu mengkritisi dua periode kepemimpinan seorang calon.”
“Nah ketika masyarakat mengkritisi, ini juga yang tidak dipahami PDIP, bahwa yang dikritisi itu adalah Jokowi itu baik, kepuasannya tinggi.”
Sebaliknya, malah yang dikritisi masyarakat adalah sikap ambigu PDIP.
“Dia yang memerintah, dia yang mengajukan Jokowi, dia yang menyerang Jokowi,” lanjutnya.
Dalam konteks ini, kekalahan paslon Ganjar-Mahfud di “kandang banteng” juga menjadi sorotan.
Meskipun PDIP memimpin dalam perolehan suara di Jawa Tengah dan Bali, basis massa utamanya, namun paslon yang diusung PDIP justru kalah jauh dalam perolehan suara secara keseluruhan.
Dengan demikian, hasil pemilu 2024 menunjukkan kompleksitas dinamika politik di Indonesia dan menyoroti pentingnya strategi yang tepat dari setiap partai politik dalam menghadapi perubahan politik yang dinamis.
Sumber : Tribunkaltim.co
Editor Topik BorneoÂ