BALIKPAPAN – Undang-Undang tentang kabupaten/kota di Kaltim akan mengalami revisi. Pasalnya, beberapa dasar hukum pembentukan kabupaten/kota tersebut dibuat pada masa Orde Lama, yaitu tahun 1959. Oleh karena itu, para legislator di Senayan–sebutan untuk gedung DPR di Jakarta–menganggap penting untuk merevisi aturan tersebut. Hal ini dilakukan guna menyesuaikan konsep otonomi daerah dan perkembangan ketatanegaraan di Indonesia.
Wakil Ketua Komisi II DPR, Syamsurizal, yang menjadi pengusul perubahan Undang-Undang Kabupaten/Kota, menyampaikan hal tersebut dalam Rapat Badan Legislasi (Baleg) di Senayan bulan lalu. Dia mengatakan bahwa dari 254 Rancangan Undang-Undang (RUU), masih ada 112 RUU yang belum memiliki naskah akademis yang disiapkan oleh DPR.
Dari 112 RUU tersebut, termasuk di dalamnya RUU pembentukan kabupaten/kota di Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara, dan Kaltim. Selain itu, juga termasuk RUU di Maluku, Maluku Utara, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
“Masih ada 10 provinsi yang belum dapat kita siapkan naskah akademisnya. Ini karena keterbatasan anggaran dalam pembentukan regulasi tersebut. Namun kami dari pihak pimpinan Komisi II (DPR) sedang berupaya melakukan lobi agar bersama dengan pihak Sekretariat Jenderal DPR, untuk menyediakan pendanaannya,” katanya di kanal DPR.
Hal substansial dari revisi UU tentang Kabupaten/Kota adalah berkaitan dengan landasan hukum. Sebagai pihak pengusul, Komisi II DPR akan melakukan tinjauan terhadap setiap ibu kota yang berada di masing-masing daerah kabupaten/kota. “Ini akan dilakukan jika ada kesepakatan untuk pemindahan ibu kota yang baru,” tambahnya.
Setiap Rancangan Undang-Undang tersebut harus dibuat dalam Undang-Undang tersendiri. Selama ini, hanya Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) dan Kabupaten Mahakam Ulu (Mahulu) yang memiliki undang-undang tersendiri. Sementara delapan kabupaten/kota lainnya di Kaltim, masih diatur dalam satu UU. “Mereka akan memiliki nomor dan undang-undang sendiri,” kata anggota DPR dari Daerah Pemilihan Riau I tersebut.
Hal lain yang dianggap penting oleh Komisi II DPR adalah peninjauan terhadap cakupan wilayah dari masing-masing kabupaten/kota. Hal ini berkaitan dengan penegasan cakupan wilayah yang dapat berubah dalam UU terbaru. “Ini mencakup perubahan pembentukan daerah, batas wilayah, dan kedudukan ibu kota,” jelas Syamsurizal.
Diketahui, kebanyakan kabupaten/kota di Kaltim dibentuk menggunakan aturan lama. Contohnya, Pasir sebelum berubah nama menjadi Paser melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2007 tentang Perubahan Nama Kabupaten Pasir Menjadi Kabupaten Paser dan Kabupaten Kutai sebelum berubah nama menjadi Kutai Kartanegara melalui PP Nomor 8 Tahun 2002 tentang Perubahan Nama Kabupaten Kutai Menjadi Kabupaten Kutai Kartanegara.
Selanjutnya, Balikpapan, Samarinda, dan Berau diatur menggunakan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1959 tentang Penetapan Undang-Undang Darurat Nomor 3 Tahun 1953 tentang Perpanjangan Pembentukan Daerah Tingkat II di Kalimantan (Lembaran Negara Tahun 1959 Nomor 9) sebagai Undang-Undang.
Dalam UU tersebut, disebutkan bahwa daerah-daerah tingkat II seperti Kutai, Berau, Bulongan (sekarang Bulungan di Kalimantan Utara), dan Pasir, Kotapraja Balikpapan, dan Samarinda termasuk dalam wilayah Daerah Tingkat I Kaltim.
UU tersebut juga mencantumkan Daerah Tingkat II Pasir berkedudukan di Tanah Grogot, Kutai berkedudukan di Tenggarong, dan Berau berkedudukan di Tanjung Redeb.
Editor Topik Borneo