NEW YORK – Serangan Israel ke Gaza memicu konflik global, termasuk di perusahaan-perusahaan besar seperti Google yang dikenal dengan reputasi keterbukaannya. Genosida Israel terhadap Gaza semakin membuka mata dunia, mendorong aksi nyata.
Majalah Time melaporkan kelompok protes No Tech For Apartheid, yang menentang keterlibatan Google dengan pemerintah Israel, kini memiliki setidaknya 40 karyawan Google sebagai anggota. Eddie Hatfield, 23, seorang insinyur perangkat lunak Google dan anggota kelompok tersebut, baru-baru ini melakukan protes keras di konferensi perusahaan.
“Saya seorang insinyur perangkat lunak Google Cloud, dan saya menolak untuk membangun teknologi yang mendukung genosida, apartheid, atau mata-mata!” teriaknya.
Eddie dipecat tak lama kemudian. Sejak itu, dua karyawan Google lainnya memutuskan untuk berhenti karena perusahaan tetap mengerjakan Proyek Nimbus, kontrak cloud senilai USD1,2 miliar (Rp18 triliun) dengan pemerintah Israel.
Nimbus adalah kolaborasi antara Google dan Amazon untuk menyediakan layanan cloud, machine learning, dan AI untuk Kementerian Pertahanan Israel.
Penggunaan Nimbus secara rinci belum dijelaskan, namun pemerintah Israel menyebut proyek ini sebagai solusi cloud menyeluruh untuk pemerintah dan pertahanan.
Time melaporkan bahwa Hatfield dan karyawan Google lainnya yang berhenti adalah bagian dari “gerakan yang berkembang” dalam perusahaan yang menginginkan proyek cloud Israel dibatalkan.
Editor Topik Borneo