SAMARINDA – Kios itu terlihat ramai. Dengan ukuran hanya 4 meter x 3 meter, berbagai perlengkapan usaha memenuhi ruangannya. Mulai dari lemari kaca, beragam makanan dan minuman instan, lemari pendingin, kompor, perlengkapan memasak dan makan, hingga kipas angin. Kios tersebut diberi nama Ngelok Balik Dahlia.
Tempat usaha ini berlokasi di sebuah bangunan di Rest Area dan Sentra UMKM Nusantara. Terletak di Desa Bumi Harapan, Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara. Ada 20 kios dengan ukuran yang sama di bangunan ini. Beberapa di antaranya terlihat kosong atau tidak berpenghuni.
Ngelok Balik Dahlia dikelola oleh Yati Dahlia dan suaminya. Selain menjual makanan dan minuman ringan, mereka juga menyajikan sop tekalo, nasi campur, dan rawon. Pada hari Minggu, 28 April 2024, kaltimkece.id mewawancarai Dahlia di kiosnya. Dia mengungkapkan bahwa kios tersebut diperoleh dari seorang pejabat Otorita IKN secara Cuma-cuma.
Otorita disebut memberikan kios secara gratis sebagai bentuk kepedulian kepada warga yang terdampak pembangunan IKN. Namun, Dahlia meragukan pernyataan tersebut. Dia mengaku tidak mengenal pemilik kios lainnya. Menurut informasi yang diterimanya, sebagian besar pemilik kios berasal dari luar Sepaku.
“Sebelum menjadi Sentra UMKM, bangunan ini dulunya adalah kandang sapi,” ujar Dahlia, yang berusia 33 tahun.
Dahlia dan suaminya memiliki empat anak dan tinggal di rumah orang tua Dahlia di Desa Bumi Harapan, sekitar 4 kilometer dari Sentra UMKM. Mereka sebelumnya tinggal di sebuah rumah dan warung yang bersebelahan di desa tersebut. Rumah mereka dulu berukuran 6 meter x 10 meter, sementara warungnya 4×12 meter.
Pada Oktober 2023, mereka meninggalkan rumah dan warung tersebut karena pemerintah akan memanfaatkannya untuk pembangunan IKN. Dahlia dan keluarganya menerima surat dari Badan Pertanahan Nasional yang menyatakan bahwa rumah dan warung mereka akan diganti dengan uang sebesar Rp158 juta atau dengan nilai sekitar Rp387 ribu per meter.
Dahlia sebenarnya tidak setuju dengan nilai tersebut karena sebagian besar bahan bangunan rumah dan warung mereka terbuat dari kayu ulin. Mereka telah menghabiskan lebih dari Rp160 juta untuk membangun rumah dan warung tersebut. Namun, mereka tidak memiliki pilihan selain menerima tawaran pemerintah tersebut.
“Jika tidak setuju dengan nilai ini, kami disuruh untuk mengajukan gugatan di pengadilan,” kata pemerintah kepada Dahlia.
Yang membuat mereka kesulitan bukanlah hanya nilai ganti rugi, tetapi pembayaran tersebut juga tertunda. Hingga saat ini, ganti rugi untuk rumah dan warung mereka belum dibayarkan, membuat hidup keluarga Dahlia terhenti. Sebelum tinggal di rumah orang tua, mereka sempat tinggal di kios Sentra UMKM.
Selain menjadi ibu, Dahlia juga seorang penari dan guru tari Ronggeng Paser. Dia memiliki komunitas bernama Sanggar Seni Uwat Bolum. Rumah yang mereka tinggalkan karena pembangunan IKN memiliki banyak kenangan, termasuk tempat latihan tari bagi Dahlia dan murid-muridnya.
Saat ini, mereka tidak memiliki tempat tetap untuk latihan. Kadang-kadang, Dahlia membawa murid-muridnya untuk latihan di rest area IKN, meskipun waktu latihannya tidak tetap. Dahlia merasa kecewa karena janji-janji yang pernah diberikan oleh Otorita IKN, seperti mendirikan kampung adat dan membuat warga Sepaku menjadi warga ibu kota, belum terwujud.
“Bagaimana kami bisa menjadi warga ibu kota? Kami bahkan seperti diusir dari kampung halaman kami,” keluh Dahlia.
Permintaan terbesarnya saat ini hanya agar ganti rugi untuk rumah dan warungnya segera dibayarkan. Mereka berencana menggunakan uang tersebut untuk melanjutkan hidup mereka. Namun, dengan harga pasar saat ini, mereka khawatir tidak dapat membeli rumah di Kelurahan Petung, Kecamatan Penajam, PPU.
“Apakah masih ada rumah seharga Rp158 juta?” tanya Dahlia dengan nada tertawa.
Alay, ketua RT 6 di Kelurahan Pemaluan, Sepaku, PPU, memiliki nasib yang sedikit lebih baik. Meskipun rumah dua lantai miliknya terkena dampak pembangunan IKN, dia dan keluarganya belum diminta untuk pindah dari tempat tinggal mereka.
Pada 2 Februari 2024, Alay menghadiri pertemuan di kantor Kelurahan Pemaluan. Dalam pertemuan tersebut, dia dijanjikan ganti rugi sekitar Rp600 juta untuk rumah dan lahan miliknya. Namun, nilai yang ditawarkan tidak sesuai dengan modal yang telah dia investasikan untuk membangun rumah tersebut.
Alay telah menghabiskan lebih dari Rp400 juta untuk membangun rumah dua lantai tersebut. Meskipun tidak puas dengan nilai ganti rugi yang ditawarkan, Alay terpaksa menerima tawaran tersebut, karena melawan pemerintah tidak akan membuahkan hasil.
Dalam pertemuan tersebut, Alay dijanjikan pembayaran ganti rugi dalam waktu maksimal sebulan setelah pertemuan. Namun, hingga saat ini pembayaran tersebut belum terealisasi. Dia dan keluarganya hanya bisa menunggu dengan cemas. Ada kemungkinan bahwa mereka akan mengalami nasib yang sama dengan Dahlia, yaitu harus meninggalkan rumah mereka sebelum menerima ganti rugi.
Desa Bumi Harapan dan Kelurahan Pemaluan termasuk dalam Kawasan Inti Pusat Pemerintahan Ibu Kota Nusantara. Dengan luas 6.671 hektare, kawasan ini akan menjadi pusat pemerintahan negara. Beberapa gedung penting telah dibangun di kawasan ini, seperti istana presiden, rumah jabatan menteri, hotel, dan rumah sakit.
Editor Topik Borneo