TENGGARONG – Kejadian tragis tenggelamnya korban di bekas lubang tambang semakin meningkat, tanpa solusi yang jelas. Peristiwa-peristiwa ini tampaknya diabaikan oleh banyak pihak, seolah hanya menjadi bagian dari rutinitas sehari-hari.
Sejumlah aktivis lingkungan telah memberikan peringatan kepada pihak berwenang dengan tegas.
Mereka menyalakan lampu peringatan terkait dua kejadian besar yang terjadi dalam waktu singkat.
Pada Minggu (5/5), dua anak, M Raihan (9) dan Rindu Permatasari (12), meninggal di lubang tambang eks PT Transisi Energi Satunama.
Hanya dalam waktu seminggu kemudian, di Samboja, Kukar, Dhiyanur Rahman Rafi (16) tewas di kolam bekas galian C.
Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim melaporkan bahwa sejak 2011, setidaknya 48 orang telah tewas di lubang tambang.
Namun, hanya satu kasus yang sampai ke pengadilan. Ini berarti ada 47 kasus lain yang belum ditangani.
Fakta ini mendorong Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kaltim untuk mengadakan protes.
Mereka mendesak Polda Kaltim untuk segera bertindak terhadap mereka yang bertanggung jawab atas kecelakaan di lubang tambang.
Direktur Institut Pemberdayaan dan Advokasi Masyarakat Sipil (Inspirasi) Kaltim, Deny Adam Erlangga, yang turun ke lokasi di Samboja, menyatakan bahwa lubang telah ditutup sejak Selasa (14/5) dan pekerjaan dilakukan setiap malam.
Namun, tidak ada informasi tentang siapa yang meminta penutupan tersebut. Deny menyatakan bahwa seharusnya polisi melakukan penyelidikan lebih lanjut karena ada korban dalam kasus ini.
“Di lokasi tidak terlihat tanda garis polisi dan belum ada penyelidikan yang dilakukan oleh polisi. Kami curiga bahwa penutupan kolam dan ketiadaan tanda garis polisi merupakan upaya untuk menghilangkan bukti atau menghalangi penyelidikan polisi,” jelasnya.
“Saya telah memeriksa di ESDM. Tidak ada izin yang ditemukan di portal geoportal ESDM, yang berarti tidak ada penilaian dampak lingkungan yang dilakukan, dan ini pasti memiliki dampak serius pada lingkungan,” tambahnya.
Menurut penelitiannya, lahan yang digunakan untuk kolam sekitar 1 hektar. “Pengerukan pasir tidak memperhatikan luas lahan, tetapi hanya kedalaman. Ini tidak bisa kami uji,” katanya.
Salah satu dampak yang paling dikhawatirkan adalah ancaman longsor di area pemakaman yang dekat dengan galian C ilegal. Selain itu, jaraknya hanya sekitar 1 kilometer dari permukiman.
“Di area kolam galian C, kami tidak melihat papan peringatan. Biasanya ada papan peringatan untuk aktivitas semacam ini.
Aktivitas penggalian ini menyebabkan lumpur di bawahnya, sehingga jika ada yang jatuh ke dalamnya, mereka akan tenggelam di lumpur.
Oleh karena itu, aktivitas semacam ini harus diatur dengan pagar atau papan peringatan minimal,” tandasnya.
Kapolresta Samarinda, Kombes Pol Ary Fadli, mengatakan bahwa penyelidikan tentang kejadian di Jalan Lobang Tiga masih berlangsung. Mereka telah memeriksa beberapa saksi dan akan melakukan klarifikasi lebih lanjut.
“Lubang tambang itu sudah ada sejak lama, sehingga perlu klarifikasi kepada pihak terkait, seperti Dinas ESDM dan inspektur tambang, untuk mengetahui siapa yang bertanggung jawab atas pembuatan lubang tersebut,” jelasnya..
Editor Topik Borneo