JAKARTA – Film horor Indonesia yang kontroversial, “Kiblat,” telah menjadi bahan perdebatan sebelum dirilis. Kontroversi muncul setelah perilisan poster yang dianggap sensitif dalam promosi film tersebut.
Poster tersebut memperlihatkan seseorang mengenakan mukena dalam posisi yang tidak biasa saat rukuk, tampak kesurupan dan berteriak. Hal ini menuai kritikan karena dinilai mencemarkan dan mengeksploitasi agama.
Kritik terhadap poster dan judul film “Kiblat” juga datang dari berbagai pihak, termasuk lembaga sensor film dan tokoh agama. Lembaga Sensor Film (LSF) menyatakan bahwa film ini belum lulus sensor karena beberapa hal yang perlu diperbaiki oleh rumah produksi.
Dai dan penulis, Hilmi Firdausi, menyuarakan ketidaksetujuannya terhadap film ini, menganggapnya tidak mendidik dan sensitif terhadap agama Islam. Ia mengimbau agar produser dan sutradara membuat film-film yang lebih mendidik dan menghormati agama.
“Dengan penuh hormat kepada para produser film Indonesia, saya memohon untuk menghentikan pembuatan film horor seperti ‘Kiblat’ ini,” tegas Hilmi Firdausi dalam unggahan media sosialnya pada tanggal 22 Maret.
“Film tersebut sama sekali tidak memberikan pendidikan yang baik, bahkan membuat sebagian orang menjadi takut untuk menjalankan ibadah salat… Kejadian serupa juga terjadi pada sekuel film ‘Makmum’, ‘Khanzab’, dan lain sebagainya,” tambahnya.
Ketua MUI Bidang Dakwah, Cholil Nafis, bahkan meminta agar film “Kiblat” tidak ditayangkan di bioskop, menganggapnya sebagai promosi yang sensitif dan tidak pantas. Ia menegaskan bahwa judul “Kiblat” hanya merujuk pada Ka’bah, yang memiliki makna penting dalam ibadah umat Islam.
“Meskipun saya belum mengetahui konten sebenarnya dari film tersebut, namun gambarnya terkesan menakutkan, terlebih lagi judulnya adalah ‘Kiblat’. Saya mencari arti dari kata ‘kiblat’ dan menemukan bahwa itu merujuk pada Ka’bah, tempat yang dihadapkan oleh umat Islam saat melakukan salat,” ungkapnya dalam unggahan di Instagram pada Minggu (24/3/2024).
“Apabila informasi ini benar adanya, maka film ini tidak layak untuk disebarkan dan bisa dianggap sebagai kampanye negatif terhadap ajaran agama. Oleh karena itu, saya berpendapat film ini harus ditarik dan tidak boleh diputar,” lanjutnya.
Sebagai respons atas kontroversi ini, rumah produksi Leo Pictures telah menghilangkan materi promosi film “Kiblat” dari media sosial mereka. Hal ini menunjukkan respons dari pihak produksi terhadap kritik dan permintaan untuk meninjau ulang konten film tersebut.
LSF juga menyatakan bahwa film “Kiblat” belum lulus sensor, dan proses peninjauan masih berlangsung. Penundaan sensor ini menunjukkan bahwa masih ada aspek yang perlu diperbaiki dalam film tersebut sebelum dapat ditayangkan secara resmi.
“Film Kiblat belum lulus sensor, masih dalam proses peninjauan,” kata Wakil Ketua LSF Ervan Ismail, Senin (25/3).
Dengan begitu, film “Kiblat” menjadi salah satu contoh yang menunjukkan pentingnya sensitivitas dan pertimbangan dalam menyajikan konten yang berkaitan dengan agama dalam industri perfilman Indonesia.
Editor Topik Borneo