SURABAYA – Pakar psikologi klinis dan kesehatan mental dari Universitas Airlangga (Unair), Margaretha, menyoroti masih maraknya kasus perundungan atau bullying di lingkungan sekolah.
Menurutnya, bullying adalah pola kekerasan yang berulang dalam hubungan antar individu atau kelompok, di mana ada pihak yang lebih kuat sebagai pelaku dan pihak yang lebih lemah sebagai korban.
Margaretha mengingatkan bahwa bullying tidak hanya berdampak buruk bagi korban, tetapi juga meracuni mental para pelaku. Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya peran aktif dari lingkungan sekitar, terutama orang tua, guru, dan teman-teman korban.
Mereka harus bersikap tegas dan memberikan sanksi kepada pelaku bullying, serta memberikan dukungan psikologis yang diperlukan bagi korban.
“Jika ada jokes yang menyinggung, korban harus membuat batasan pada diri sendiri, saya tidak mau diperlakukan seperti ini. Korban perlu berani bilang stop, saya nggak suka kamu ngomong kayak gitu,” ujarnya.
Menurut Margaretha, bagi korban, penting untuk dilatih agar dapat bersikap asertif, yaitu berani menghadapi pelaku dan menyatakan batas-batas secara sehat.
Korban perlu memahami bahwa mereka memiliki hak untuk tidak menerima perlakuan yang merugikan.
Selain itu, mereka juga perlu mengubah pemikiran mereka terhadap kata-kata negatif yang dapat merusak mental mereka.
Tak hanya korban, Margaretha juga menyoroti perlunya intervensi terhadap pelaku bullying. Pelaku bullying perlu dilatih untuk mengelola emosi secara solutif dan belajar untuk berempati terhadap orang lain.
“Misalnya, jika mereka tidak suka dengan perilaku seseorang, mereka bisa berbicara dengan sopan dan jujur, tanpa harus memukul atau menyakiti,” kata dia.
Melalui intervensi psikologis, mereka diharapkan dapat memahami perspektif korban dan memperoleh kesadaran tentang dampak negatif dari tindakan mereka.
Sumber : Republika.co.id
Editor Topik Borneo