Samarinda – Anggota Komisi IV DPRD Kota Samarinda, Anhar, menyoroti rencana pengoperasian Sekolah Rakyat di Kota Tepian yang akan dimulai pada tahun ajaran 2025/2026.
Menurutnya, keberadaan program yang digagas oleh Kementerian Sosial RI itu justru menunjukkan bahwa masih ada masyarakat miskin ekstrem di Samarinda.
“Kalau syarat utama berdirinya Sekolah Rakyat adalah adanya masyarakat miskin ekstrem, maka artinya di Samarinda masih banyak warga yang masuk kategori itu,” ujar Anhar, Kamis (19/06/2025).
Ia mempertanyakan keakuratan data yang dijadikan dasar pemilihan lokasi pembangunan, mengingat selama ini Wali Kota Samarinda melaporkan bahwa angka pengangguran dan kemiskinan ekstrem menurun.
“Padahal, Wali Kota selalu melaporkan bahwa angka pengangguran dan kemiskinan ekstrem semakin menurun,” ucapnya.
Anhar juga menyoroti istilah “Sekolah Rakyat” yang menurutnya kurang tepat. Ia menilai semua sekolah pada dasarnya memang ditujukan untuk rakyat, sehingga istilah tersebut bisa menimbulkan ambiguitas.
“Semua sekolah kan seharusnya memang untuk rakyat. Lalu kenapa istilah ini digunakan seolah-olah berbeda?” katanya.
Ia mempertanyakan alasan pembangunan sekolah tersebut di Samarinda yang memiliki APBD sebesar Rp5 triliun.
“Kalau memang untuk masyarakat miskin ekstrem, lalu kenapa dibangun di Samarinda yang APBD-nya Rp 5 triliun dan berstatus ibu kota provinsi? Bukankah lebih tepat dibangun di daerah yang kekurangan akses pendidikan?” katanya.
Lebih lanjut, Ia menekankan pentingnya pemerataan kualitas pendidikan di Samarinda agar tidak ada lagi dikotomi antara sekolah unggulan dan non-unggulan.
“Semua sekolah harus berstandar tinggi agar tidak terjadi kesenjangan layanan pendidikan,” ujarnya.
Anhar berharap agar pemerintah daerah lebih fokus memperkuat kualitas SDM lokal dan memperluas akses pendidikan di wilayah yang benar-benar membutuhkan, dengan mengedepankan data yang valid dan kajian yang menyeluruh. (Nis/ADV DPRD KOTA SAMARINDA)
