spot_img

Slow Living: Tren Solusi Gaya Hidup Generasi Muda

SAMARINDA – Generasi muda terus melahirkan pola pikir dan tren baru yang mempengaruhi lingkungan sosial. 

Di era digital ini, dengan akses informasi yang mudah, tatanan sosial di kalangan anak muda pun terus berubah secara dinamis. Salah satu tren yang sedang populer adalah konsep hidup “slow living,” yang kini banyak diikuti oleh anak muda di media sosial.

Social media menjadi ajang unjuk diri bagi anak muda. Bagi yang mampu memanfaatkannya dengan baik, platform ini dapat menjadi sarana kreatif untuk menghasilkan konten menarik dan bahkan menjadi sumber pendapatan. 

Namun, jika tidak digunakan dengan bijak, social media dapat menjadi ajang flexing yang hanya menonjolkan kemewahan dan bisa menimbulkan masalah sosial.

Saat ini, banyak anak muda berlomba-lomba mengikuti tren terkini di social media. Salah satu tren yang sedang hits adalah “slow living,” yang mengajak orang untuk menjalani hidup dengan lebih lambat dan penuh kesadaran. 

Tren ini berawal dari gerakan “slow movement” pada tahun 1980-an di Italia, yang menentang masuknya restoran cepat saji di Roma. Gerakan ini kemudian berkembang menjadi konsep hidup yang menekankan kualitas daripada kuantitas.

Konsep “slow living” kini diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk slow travel, slow fashion, dan slow design. 

Konsep ini menekankan pentingnya keseimbangan hidup dan mengurangi ketergesa-gesaan dalam aktivitas sehari-hari. Banyak anak muda yang tertarik dengan konsep ini, terutama karena isu kesehatan mental yang semakin mendapat perhatian.

Namun, apakah “slow living” ini benar-benar solusi atau hanya sekadar tren belaka? Beberapa penelitian menunjukkan bahwa konsep ini dapat memberikan dampak positif yang besar, terutama dalam menghadapi krisis ekonomi dan isu keberlanjutan lingkungan. 

Misalnya, penelitian oleh Diana dan Eva mengaitkan slow living dengan green economy, yang bertentangan dengan pandangan konsumeris dalam ekonomi tradisional.

Slow living juga dianggap sebagai gaya hidup yang bertanggung jawab, di mana konsumen lebih bijak dalam menggunakan sumber daya dan berupaya membangun hubungan yang lebih baik dengan lingkungan dan sesama manusia. Dengan demikian, slow living dapat menjadi inisiatif baru dalam masyarakat untuk mendukung pembangunan berkelanjutan.

Namun, di era digital ini, slow living sering kali dipandang sebagai tren untuk konten media sosial. Alih-alih menjauh dari internet untuk menata hidup, banyak orang yang menjadikan slow living sebagai ajang unjuk diri di platform digital. 

Allison Grundy dalam tulisannya “Slow Living: Is It a Trend or a Revolution?” mengungkapkan bahwa meskipun ada sisi positif dari kesadaran akan keseimbangan hidup, tren ini juga bisa menjadi sekadar konten yang akhirnya kehilangan esensinya.

Pada akhirnya, semua kembali pada perspektif masing-masing. Apakah kita memilih untuk menerapkan slow living sebagai cara untuk memperbaiki kualitas hidup, atau hanya mengikuti tren yang sedang populer? 

Yang jelas, slow living memiliki potensi untuk menjadi solusi yang layak dicoba dalam mengatasi permasalahan sosial dan ekonomi yang ada di masyarakat saat ini. 

Editor Topik Borneo

BERITA TERKINI

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

MEDIA SOSIAL

1,559FansSuka
1,157PengikutMengikuti
1,175PelangganBerlangganan
- Advertisment -spot_img

BERITA DAERAH

BERITA NASIONAL

BERITA INTERNASIONAL

Komentar